Halaman

Sabtu, 24 Maret 2012

SEKILAS TENTANG SADRANAN DI CEPOGO


Sadran merupakan ritual yang rutin digelar kaum Kejawen setiap bulan sa'ban (ruwah). Upacara ini bertujuan untuk menyambut datangnya bulan puasa. Tradisi Sadranan sudah umum dilaksanakan masyarakat muslim Asia Tenggara namun kadang berbeda nama dan rangkaian kegiatanya. Masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Cepogo melakukan tradisi ini sebagai penghormatan kepada arwah leluhur, kerabat/saudara.
Zaman dahulu acara sadranan dilakukan sebagai pemujaan kepada leluhur juga permohonan kepada arwah leluhur sebab dipercaya jika arwah leluhur yang sudah meninggal itu sebenarnya masih hidup bersama didunia ini. Upacara sadranan zaman dulu menggunakan ubarampe yang isinya ialah sesajen makanan-makanan yang tidak sepantasnya dimakan, contohnya: daging mentah, darah ayam, kluwak dan lain-lain.
Setelah agama Islam masuk, para Wali merubah upacara sadranan ini secara halus agar sesuai dengan ajaran Islam. Pemujaan dan permohonan kepada leluhur diubah menjadi doa kepada Allah. Sesajen yang tidak enak dimakan diganti menjadi sajian makanan yang enak. Sadranan biasanya diawali dengan bersih-bersih kuburan, masyarakat menyebutnya “besik”. Dan yang mengherankan dari tradisi ini adalah semua masyarakat datang berbondong-bondong untuk bersilaturahmi dan menjalin persaudaraan dengan saling mengunjungi rumah per rumah dengan menyantap hidangan yang disajikan. Maksud dan tujuan lainnya yaitu ikut ngalap berkah kepada para leluhur yang telah meninggal dunia. Kuatnya nilai-nilai tradisi pada masyarakat yang masih menjalankannya tersebut didasari keyakinan bahwa setelah upacara tradisional Sadranan tersebut dilaksanakan maka dalam bekerja untuk mencari nafkah akan diberikan kelancaran dan kemudahan.
Sadranan di adakan setiap bulan Ruwah tanggal 15 sampai dengan menjelang bulan puasa, secara bergantian dari kampung ke kampung mengadakan upacara tradisional Sadranan tersebut. Upacara itu hakekatnya ialah kesadaran manusia kepada  perkara hidup dan mati. Yang telah meninggal ganu ngelairna yang masih hidup, yang masih hidup nantinya menyusul yang telah meninggal (Sangkan Paraning Dumadi). Sadranan juga mengandung makna bahwa manusia itu seharusnya selalu mengingat jika dirinya hidup itu hakekatnya bersamaan dengan menunggu kematian, itu maksudnya agar setiap menjalankan apa saja dalam hidup itu harus berhati-hati.