Halaman

Selasa, 16 April 2013

SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia telah tiga kali melaksanakan pemilihan umum yaitu 1999, 2004 dan 2009 dengan sistem multi partai. Dengan sistem multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan metode pendekatan dalam memperoleh suara terbanyak untuk memenangkan pemilu. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 telah membuka ruang kontestasi dalam memperebutkan kekuasaan dan legitimasi kekuasaan politik. Telah tiga kali terjadi pergantian presiden sebagai bagian dari proses demokrasi di tingkat nasional dan daerah. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung Tahun 2004 merupakan pengalaman baru dan telah berlangsung ke dua kalinya bagi Bangsa Indonesia, sebagai salah satu kajian demokrasi presidensil. UU No. 23 Tahun 2003. Di tingkat daerah, di beberapa Provinsi dan Kabupaten telah hampir memasuki kali ke dua dalam pemilihan Kepala Daeraha secara langsung. Tingginya bias konflik dalam Pilkada, menyebabkan wacana tentang Pilkada Gubernur belakangan akan dikembalikan pada system pemilihan melalui DPRD Provinsi.
Adanya jarak antara pemilu dengan sirkulasi elit di masa orde baru disebabkan ketertutupan politik dengan adanya pemusatan kekuasaan di tangan Suharto, yang setelah reformasi terjadi sirkulasi elit yang terbuka dan kompetitif dimulai Pemilihan Umum 1999 yang disusul pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung 2004. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah daerah sangat bercorak sentralistik, dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan dan penentuan pejabat kepala daerah yang harus memperoleh persetujuan presiden. Namun sejak runtuhnya otoriter orde baru, bermunculan tuntutan berbagai daerah agar mereka dapat menentukan sendiri kepala daerah masing-masing. Sehingga muncul Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagai hasil reformasi politik. Pergeseran tersebut bertujuan menciptakan pemberdayaan politik masyarakat lokal yang dalam pelaksanaannya masih terbatas pada legislative daerah.
Dalam sejarah Indonesia sampai pada masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli oleh elite politik pusat dan daerah dengan tidak memberi kesempatan rakyat memilih secara langsung kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Adanya perbedaan tata cara dan mekanisme pemilihan yang selama ini dikonstruksi untuk memilih anggota legislative serta presiden dan wakil presiden yang melibatkan partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya. Namun sebaliknya pilkada dilakukan dengan sistem pemilihan perwakilan oleh anggota dewan atau diangkat/ditunjuk oleh pejabat pusat.
Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya dan salah satu produk era reformasi adalah UU No.22 tahun 1999 mengenai desentralisasi, yang dalam praktik pilkada menimbulkan keprihatinan dan kekecewaan dengan munculnya isu maraknya politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik di tingkat lokal maupun pusat. Kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (otonomi daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang membuka peluang kepada rakyat untuk mewujudkan aspirasi daerah dengan memiliki pemimpin lokal yang dipilih oleh rakyat melalui pilkada langsung. Perubahan ini sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah.
Alasan mengapa harus diselenggarakan pilkada langsung karena: Pertama, meningkatnya partisipasi politik rakyat daerah; Kedua, legitimasi politik yang dapat memberikan dampak legitimasi yang lebih kuat terhadap kepemimpinan daerah terpilih; Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; dan Keempat, akuntabilitas yang merupakan persoalan mendasar dalam memillih seorang pemimpin. Dalam artian pilkada langsung harus dapat mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif daerah yang kuat. Selain itu, pelaksanaan pilkada langsung harus berkualitas, sederhana, efisien, dan mudah dilakukan. Pilkada langsung juga harus membuka ruang selebar-lebarnya terjadinya kompetisi yang adil antara para calon yang bersaing dengan melibatkan partisipasi rakyat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yang berlangsung sampai dengan pemilihan, serta proses-proses politik pasca pemilihan.
Dengan demikian kepala daerah terpilih akan lebih akuntabel pada rakyat dan bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan berorientasi pada rakyat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) serta potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) bisa berkurang pada golongan tertentu. Perubahan politik nasional dengan mengadakan pemilihan langsung terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden diikuti dengan pemilihan langsung gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Dalam kaitannya dengan perubahan sistem pilkada adalah merupakan mata rantai reformasi politik untuk mewujudkan politik yang demokratis di Indonesia. Dalam suatu masyarakat demokratis, rakyat berperan tidak untuk memerintah atau menjalankan keputusan–keputusan politik. Namun terdapat pemilihan umum yang berperan untuk menghasilkan suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional dan pemerintah. Atas dasar diatas maka penulis tertarik untuk membuat paper yang berjudul “ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI INDONESIA “


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia
Secara umum pelaksanaan pilkada dapat berlangsung dan berhasil memilih kepala daerah, tetapi masih banyak persoalan penting yang mesti dibenahi. Pertama, tingkat partisipasi menunjukkan bahwa dalam pilkada lebih rendah dibandingkan dengan pemilu nasional di setiap daerah yang bersangkutan. Selain itu dalam pemilihan kepala daerah secara langsung masih didominasi oleh golongan putih, yakni golongan yang tidak menentukan hak pilihnya, demikian refleksi Harian Suara Karya.
Kedua, berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan dari kalangan praktisi dan pengalaman di daerah lain di Indonesia nampak bahwa hampir dapat dikatakan sumber dari segala sumber masalah pilkada diawali saat penyiapan daftar pemilih. Masalah penyiapan daftar pemilih bersumber dari prosedur, lembaga penanggungjawab hingga masalah-masalah administrasi kependudukan daerah-daerah yang tidak beres. Ketiga, ketidakyakinan pemilih terhadap kepala daerah terpilih.
Secara singkat dapat dinyatakan, bahwa masalah pilkada dapat dilihat dari konstruksi atau struktur hukum yang melingkupi dan sebagai dasar pelaksanaan pilkada di Indonesia. Transisi politik demokrasi menempatkan pemilu sebagai salah satu jalan alternatif yang paling mungkin ketimbang cara-cara lainnya, termasuk yang dicoba di Indonesia. Sayangnya, di era transisi melalui pemilu itu sendiri di satu sisi memberikan harapan kehidupan politik yang lebih baik (demokratis); tetapi di sisi yang lain menghadapi tantangan-tantangan yang tidak ringan. Hal ini disebabkan praktik transisi politik pada dasarnya terdapat banyak eksperimen‘ politik untuk mencari pola dan struktur politik yang ideal bagi kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini transisi sering sekali menimbulkan ketidakpastian akan masa depan politik. Bukan saja karena aturan main yang ada bekerja dalam perubahan yang secara terus-menerus terjadi; tetapi juga karena biasanya aturan atau struktur hukum yang ada dipertarungkan dengan sengit, baiuk dalam pembuatan maupun dalam implementasinya.
Di era transisi para pelaku politik tidak hanya berjuang untuk sekedar memuaskan kepentingan-kepentingan pribadi sesaat dan atau kepentingan orang lain yang menurut mereka, mereka wakili, namun juga berjuang untuk menetapkan struktur-struktur peraturan (hukum) dan prosedur-prosedur yang konfigurasinya dapat menentukan siapa yang mungkin akan menang atau kalah di masa mendatang. Karena struktur-struktur peraturan (hukum) yang akan muncul sangat menentukan sumber-sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke dalam arena politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk (berkuasa).
Di samping masalah siapa yang berhak menggunakan dan memobilisasi peraturan-peraturan untuk kepentingan kekuasaannya, persoalan lain yang tentu saja muncul di era transisi kaitannya dengan reproduksi struktur-struktur peraturan (hukum) tersebut yakni masalah sejauhmana masyarakat dapat mematuhi sumber-sumber regulatif tersebut. Memang, jika kekuasaan dapat meraih kedua-duanya, maka penguasa baru itu mendapatkan legitimasinya secara meyakinkan.
Sebagaimana telah diuraikan, Pilkada Indonesia yang berlangsung sejak Juni 2005 merupakan eksperimen fundamnetal dalam transisi politik di Indonesia. Oleh karena itu, pilkada langsung merupakan panggung yang relevan untuk melihat bagaimana struktur-struktur hukum yang mengatur pelaksanaannya tidak sepenuhnya mencerminkan konstruksi yang ideal.
Pertama, secara politik, aturan-aturan ini dibuat oleh para pembuatnya dengan menyesuaikan kepentingan para aktor yang bermain. Kedua, celakanya, para aktor yang bermain memiliki kepentingan yang sama sekali saling berbeda. Akibatnya, peraturan yang lahir di beberapa tempat menimbulkan debat yang yang tak berujung. Ketiga, bagi penyelenggara, yakni KPUD, peraturan tersebut menimbulkan kegamangan untuk menurunkan pada aturan-aturan yang lebih teknis. Dan, keempat, problem itu pada akhirnya bermuara pada lahirnya konflik-konflik yang mestinya tidak perlu terjadi.
Pilkada langsung di Indonesia diselenggarakan dalam sumber-sumber hukum, antara lain:
1.    Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
2.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
3.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 03 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah
4.    Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
5.    Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005
6.    Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2005 tentang Dukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kelapa Daerah.
7.    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
8.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan pertanggungjawaban Belanja Pilkada
9.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
10.    Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan pertanggungjawaban Belanja Pilkada
11.    Berbagai Surat Edaran dari Menteri dalam Negeri dan Mahkamah Agung
12.    Berbagai Peraturan, Keputusan, dan (mungkin) juga Surat Edaran Teknis KPUD.

B.    Analisis Kelebihan dan Kelemahan Pemilukada
Kelebihan pemilukada
1.    Sesuai dengan konstitusi kita yang menyatakan bahwa “kedaulatan ada ditangan rakyat”, model pilkada langsung ini sungguh-sungguh member penghargaan kepada suara rakyat.
2.    Pemilukada dapat menggugurkan subyektivitas dan monopoli anggota DPRD.
3.    Lewat pemilukada, rakyat akan secara langsung pula memperoleh pendidikan politik.
4.    Pemilukada memberi kemungkinan pada lahirnya pemimpin daerah dari berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat.
Dari beberapa kelebihan pemilukada diatas maka dapat dijelaskan dengan deskripsi sebagai berikut:
Diskursus mengenai dinamika ekonomi politik di daerah, akhir-akhir ini terus menguat seiring dengan eskalasi partisipasi publik dalam ranah demokratisasi di tingkat lokal, terutama dengan berlangsungnya otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Sebagai bangsa yang tengah beranjak menuju demokratisasi “sepenuh hati”, kondisi tersebut cukup membanggakan. Betapa tidak, setelah lebih dari 50 tahun merdeka, hidup dalam iklim demokrasi “setengah hati”, baik di era demokrasi terpimpin maupun era demokrasi Pancasila, yang sebetulnya jiwanya amat kental dengan kekuasaan sentralistik dan otoriter. Kini, perjuangan reformasi khususnya menata sistem politik dan demokrasi di tanah air telah berhasil mengedepankan peranan rakyat sebagai subyek demokrasi, dimana rakyat tidak hanya menjadi “penonton” dalam berbagai proses pengambilan keputusan penting menyangkut manajemen kedaulatan hidup berbangsa dan bernegara.
Transisi demokrasi, dari “setengah hati” menuju demokratisasi “sepenuh hati”, merupakan salah satu tuntutan reformasi yang didengungkan sejak tahun 1998. Diawali dengan adanya kehendak kolektif segenap komponen bangsa ini untuk melakukan amandemen UUD 1945, terutama menyangkut sistem perwakilan dan wewenang pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Salah satu hasil amandemen yang berdampak mengubah secara fundamental sistem ketatanegaraan RI adalah: lahirnya lembaga baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggotanya dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Lembaga ini mempunyai kedudukan yang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Secara politik, lahirnya DPD telah mengubah atau setidaknya memperkaya khasanah dan referensi perpolitikan rakyat, dari era politik “bersimbol” ke era politik “berwajah”. Dalam era politik “bersimbol”, rakyat sepenuhnya atau setengahnya memilih lambang-lambang ideologi politik atau aliran tertentu. Sedangkan di era politik “berwajah”, rakyat sepenuhnya memilih figur, wajah, karakter, kepribadian, dan visi-misi orang atau tokoh yang bersangkutan.
DPD yang beranggotakan tokoh-tokoh daerah, kehadirannya telah memberikan pendidikan politik mendasar sebagai bekal dalam menyelenggarakan demokratisasi sepenuhnya, dimana ujungnya dalam setiap pemilu, “orang harus memilih orang” atau “people vote people”.
Pemilu DPD yang berlangsung sukses pada 5 April 2004, telah membuktikan bahwa rakyat Indonesia di seluruh daerah nusantara telah memiliki kedewasaan berpolitik memadai sebagai prasyarat menuju negara yang demokratis.
Hal ini terbukti dengan hasil-hasil pemilu berikutnya, yakni pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung, yang juga berjalan sukses. Dengan mekanisme pemilihan yang sama dengan saat pemilihan anggota DPD, yakni secara langsung memilih “wajah” calon yang bersangkutan, pemilu presiden dan wakil presiden telah menorehkan tinta emas dalam sejarah demokrasi bangsa ini, bahkan sejarah politik NKRI.
DPD RI selanjutnya sesuai dengan amanat UUD 1945, memberikan “modal politik” bagi rakyat daerah di seluruh nusantara untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan strategis menyangkut kepentingan nasional.
Istilah “kepentingan nasional” kini tak lagi menjadi milik pemerintah pusat, tak boleh lagi diterjemahkan secara sepihak oleh presiden sebagai eksekutif pemerintahan dan para pembantunya, sebagaimana yang telah terjadi di masa-masa lalu. Kepentingan nasional yang tercermin dalam berbagai produk legislasi; UU, Perpu dan lain-lain, kini harus melibatkan masyarakat daerah melalui peran dan fungsi DPD sebagai lembaga negara. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD RI selanjutnya menjadi pilar utama pelaksanaan otonomi daerah, ia akan menjadi penjaga “nurani” masyarakat daerah, yang selama ini termarjinalisasi akibat berbagai kebijakan pembangunan yang tak adil dan sentralistik.
DPD RI peranannya amat strategis dalam mendorong partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan nasional, sehingga pembangunan mewujudkan kesejahteraan secara merata tidak lagi “top-down”, tetapi “bottom-up”. Tidak lagi sentralistik, tetapi terdesentralisasi. Tidak lagi “Pulau Jawa” sentris, tetapi bergerak secara adil dan merata ke wilayah lain di luar Pulau Jawa. Secara simbolik, idealistik, dan pragmatik, keberadaan DPD RI memberikan ruang yang luas kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengaktualisasikan potensinya dalam menunjang pembangunan nasional yang bermartabat dan berkeadilan.
Dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setidaknya makin mendorong dinamika politik lokal, terutama menyangkut pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada). Dalam konteks Pilkada, DPD RI tentu berkepentingan terhadap terpilihnya para kepala daerah secara demokratis dan langsung oleh rakyat, karena di tangan para kepala daerahlah masa depan otonomi daerah dipertaruhkan. Kualitas kepala daerah, baik dari segi kapasitas dan kapabilitas personal, maupun kualitas legitimasi yang disandangnya, merupakan ukuran keberhasilan proses Pilkadal dan penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal.
Dinamika Ekonomi Politik di Daerah Pasca Pilkada
Bila kepala daerah berhasil dipilih oleh rakyat dengan sukses, menghasilkan kualitas, kapasitas, kapabilitas figur yang kompeten dan memberi harapan publik, maka selain demokratisasi di tingkat lokal berjalan sukses dengan begitu untuk kesekian kalinya bangsa ini menorehkan tinta emas dalah sejarah berbangsa, mekanisme Pilkadal terbukti menjadi salah satu sistem dan mekanisme rekrutmen pemimpin bangsa yang berkualitas. Hal tersebut penting, mengingat saat ini kaderisasi pemimpin nasional yang berakar dan berbasis kuat di daerah tidak berjalan selama ini. Kepemimpinan daerah yang legitimat dan berkualitas merupakan modal awal untuk menggerakkan dinamika ekonomi politik daerah secara efektif, sehingga dapat mempercepat proses pencapaian tujuan hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI.
Terpilihnya kepala daerah yang berkualitas dan legitimat merupakan “modal sosial” masyarakat dan pemerintah daerah untuk membangun keunggulan kompetitif daerah masing-masing.
Bagi pemerintah pusat dan bagi DPD RI, kehadiran kepala daerah terpilih produk Pilkada, selain menjadi mitra dalam pembangunan nasional, juga menjadi “intangible asset” dalam menerapkan pola dan strategi manajemen pembangunan modern, dimana pembangunan yang dikelola pemerintah mengalami redefinisi dan revitalisasi.
Redefinisi yang dimaksud adalah menerapkan pembangunan nasional dimana pemerintah pusat berperan sebagai “investment holding”, bukan sebagai “operating holding”. Desentralisasi dan otonomi adalah kata kunci untuk mendelegasikan sebanyak mungkin wewenang administrasi pemerintahan dan roda perekonomian ke pemerintah daerah.
Revitalisasi adalah mendorong kualitas partisipasi, kontribusi, dan daya saing pemerintah dan masyarakat daerah agar mampu memainkan peranannya sebagai “agent of change” atau “agent of development”, terutama dalam menggerakkan potensi ekonomi daerah. Dampak runutan yang diharapkan adalah: pembangunan ekonomi dan gairah investasi terus tumbuh dinamis di berbagai daerah, sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki.


Kelemahan Pemilukada:
Berikut diajukan sebagian fakta bahwa struktur-struktur hukum tersebut menampakan dua kelemahan terutama terkait dengan persoalan desain waktu, dis-harmoni dan kekosongan hukum.
1.    Desain Waktu
Salah satu kendala yang membuat KPUD sebagai penyelenggara pilkada tidak leluasa dalam menjalankan persiapan dan tahapan pilkada yakni keterbatasan waktu yang tersedia. Padahal salah satu syarat pemilu atau pilkada yang berkualitas mencakup tersedianya waktu yang cukup untuk persiapan dan pelaksanaannya.
Faktanya, Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005 hanya menyatakan bahwa: (1) tahapan pilkada dimulai lima bulan sebelum masa akhir jabatan kepala daerah; (2) pelaksana di tingkat kelurahan (PPS) dan Kecamatan (PPK) harus mengakhiri jabatannya satu bulan setelah pemungutan suara. Selain itu, segala hal yang berkaitan dengan pembiayaan, Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 12 dan 21 Tahun 2005 memastikan bahwa pilkada diselenggaralan dalam kurun waktu enam bulan. Praktiknya, tidak kurang dari 200 kegiatan yang harus dilaksanakan oleh KPUD. Sebagaian besar kegiatan dan tahapan itu harus diselesaiakan dalam kurun waktu tiga bulan setelah tahapan dimulai hingga pemungutan dan penghitungan suara.
Padahal, dalam tahap persiapan, KPUD mesti sudah dapat memastikan bahwa infrastruktur kelembagaan dan aturan teknis sudah siap; dan masyarakat telah dengan baik mendapatkan informasi secara memadai tentang pilkada. Sementara pada saat pelaksanaan KPUD memiliki waktu yang leluasa untuk menyiapkan daftar pemilih hingga benar-benar akurat, terseduanya waktu yang cukup untuk kampanye; dan tersedianya waktu untuk pengadaaan logistik pilkada. Demikian juga paska pelaksanaan, KPUD memiliki waktu untuk membuat evaluasi, menyusun rekomendasi dan membuat laporan penyelenggaraan dan pertanggungjawaban keuangan.
2.    Disharmoni Hukum
Secara ideal, setidaknya ada empat katagoris tahapan yang harus diatur dan dilembagakan dalam sistem hukum dan regulasi pemilu maupun pilkada untuk menghasilkan pemilu atau pilkada yang berkualitas, yakni: performa dan kinerja komisi penyelenggara pemilu/pilkada, termasuk di dalamnya lembaga pengawas; persiapan pemilu; hari pelaksanaan pemilu; dan aktivitas pasca pemilu.
Persyaratan yang mesti ditempuh dalam rangka menghasilkan kerangka kerja legislasi (legislation framework reform) yang menyangkut keempat katagoris tahapan itu sehingga melahirkan konstruksi peraturan yang clear, coherent, complete dan applicable, setidaknya mempertimbangkan empat langkah.
Pertama, perubahan peraturan apapun, termasuk di bidang pemilu harus melekat (embedded) atau bagian dari penjelasan khusus dan rinci dari konstitusi yang ada. Konstitusi mesti memberikan dasar legitimasi yang kuat atas penyelenggaraan pilkada.
Kedua, penyusunan berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan pemilu atau pilkada (electoral laws). Disamping merupakan cerminan dari amanat konstitusi, electoral laws yang disusun harus memberikan jaminan bahwa Undang-Undang itu merupakan kumpulan Undang-Undang yang jelas, koheren, komplet, dan secara efektif dapat dapat diterapkan.
Ketiga, perangkat undang-undang pilkada tersebut juga harus berkaitan dan tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan lainnya. Dan, keempat, jika, undang-undang itu masih memerlukan aturan-aturan maupun prinsip-prinsip pelaksanaannya (codes of conduct), di samping tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang sehingga mengaburkan arti yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut. Aturan juga harus disusun secara rinci memberikan jaminan yang efektif bagi pelaksanaan di lapangan.
Dalam kasus Pilkada Indonesia, nampak bahwa prinsip-prinsip tersebut kurang diperhatikan secara baik, sehingga bukan saja pada konsepsinya yang diperdebatkan, tetapi juga menimbulkan konflik dalam teknis pelaksanaannya. Dalam hal harmonisasi hukum terdapat beberapa dilema, yang antara lain:
1. Rezim Pemilu atau Rezim Pemda
Amanat Konstitusi yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada langsung terdapat pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Dengan diktum tersebut sesungguhnya pilkada disebut juga pemilu yang diselenggarakan di tingkat lokal (local election), oleh karena diselenggarakan dengan asas-asas dan hukum-hukum pemilu, termasuk penyelenggaranya sehingga pilkada termasuk dalam Rezim Pemilu. Namun demikian, Pilkada akhirnya dimasukan dalam Rezim Pemerintah Daerah (pemda), sehingga pengaturannya dimasukan ke dalam Undang-Undang pemerintahan Daerah, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Implikasinya, penyelenggaraan pilkada terikat oleh struktur hukum dan birokrasi yang menaungi urusan-urusan pemerintahan daerah. KPUD yang notabene lembaga independen yang bersifat nasional, ‘dipinjam  untuk menjadi panitia penyelenggara. Dan, dengan demikian KPUD harus tunduk pada rezim baru tersebut, yakni Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Kantor Menteri Dalam Negeri, Mahkamah Agung28, Pemerintah Daerah dan DPRD.
Hal ini berarti bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. 
2. Pemilihan yang Demokratis Bertolak Belakang dengan Pemilihan Langsung
Dilihat dari ketentuan Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pengertian ‘demokratis‘ dalam konstitusi tidak secara otomatis dapat diganti dengan ‘pemilihan langsung‘, karena tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa pemilihan tak langsung melalui parlemen lokal (DPRD) adalah pemilihan yang tidak demokratis. Sebaliknya juga demikian, tidak ada jaminan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung otomatis demokratis.
Penerjemahan pemilihan secara demokratis menjadi pemilihan langsung oleh rakyat dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 56 menyatakan, ‖kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalamsatu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.
3. Kedudukan Wakil Kepala Daerah
Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak menyinggung mengani pemilihan wakil kepala daerah. Sehingga walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 59 ayat (1) menyatakan”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik; namun demikian dalam pelaksanaannya juga menimbulkan masalah.
Pertama, hasil evaluasi oleh banyak kalangan dan lembaga publik menyatakan bahwa pemilihan secara kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan menimbulkan masalah yang kompleks di daerah. Masalahnya yakni tidak efektifnya roda pemerintahan di daerah yang berujung pada rivalitas antara keduanya. Logikanya: dalam lima tahun masa kepemimpinannya, dua tahun pertama adalah masa penyesuaian, perencanaan, dan pengokohan program-program pembangunan, satu tahun berikutnya benar-benar efektif untuk melaksankan program-program pembangunan, dan dua Tahun terakhir lahir konflik atau rivalitas, karena keduanya berancang-ancang untuk ikut pada pemilihan pilkada berikutnya.
Kedua, ketentuan ini juga dimanfaatkan oleh pada pihak-pihak dari dalam birokrasi daerah maupun partai-partai politik di daerah yang mendesakan bahwa wakil kepala daerah cukup diangkat oleh kepala daerah terpilih. Usaha-usaha ini misalnya nampak kencang pada saat Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta akan menggelar pilkada dan pada saat yang sama dibahas perubahan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4. Posisi Kelembagaan KPUD: Anggota dan Sekretariat
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 622 Tahun 2003 sebagai pedoman teknis dengan jelas memposisikan anggota KPU di semua tingkatan sebagai pembuat kebijakan melalui rapat plenonya. Sementara sekretariat bertugas sebagai pelaksana teknis dan pengelola keuangan. Namun menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2005 nampak bahwa ketua KPUD yang notabene merangkap anggota KPUD diposisikan sebagai pihak yang dilibatkan dalam urusan teknis keuangan, bahkan pengadaan barang, sesuatu yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007, Peraturan KPU dan peraturan perundang-undangan lain yang menyangkut keuangan negara. Sebab semua itu mesti dilakukan oleh pegawai Negeri sipil (PNS).
5. Penyiapan Daftar Pemilih
Dalam Pilkada terdapat dua institusi atau lebih, seperti di Jakarta yang bertugas menyiapkan daftar pemilih. KPUD yang hanya menerima hasil pendaftaran Pemerintah daerah melalui dinas terkait harus menanggung akibat jika daftar pemilih bermasalah.
D. Kekosongan Hukum
Kekosongan hukum yang dimaksud yakni ketidakmampuan konstruksi hukum mengakomodasi problem penyelenggaraan oleh karena tidak adanya klausul yang mengatur mengenai hal penting dalam proses penyelenggaraan pilkada. Ada beberapa contoh yang dapat diajukan, seperti:
1. Putaran Kedua Pilkada
Pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 107; Jo. Pasal 95 Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005 menyatakan bahwa jika tidak ada pasangan yang memperoleh suara suara lebih dari 25 % dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.
Bagi daerah-daerah yang harus melaksanakan pilkada dalam dua putaran ketentuan ini masih sangat timpang oleh karena tidak ada aturan yang mengatur mengenai bagiamana putaran kedua dilaksanakan. Bahkan pedoman penyusunan, pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran pun tidak ditemukan.
2. Politik Uang (money politics)
Isu politik uang merupakan isu yang selalu menarik. Bukan saja terdapat banyak fakta praktik-praktik tersebut dilakukan oleh para kompetitor dalam pilkada; tetapi juga belum ada rumusan hukum yang dapat menangani masalah ini secara serius. Sehingga masyarakat melihat aturan tentang politik uang dalam pemilu atau pilkada merupakan aksesoris biasa yang tidak berimplikasi apa-apa.
Dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa (1) pasangan calon dan/atau tim kamapanye dilarang menjanjikann dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih; (2) pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh DPRD.
Pertanyaanya, bagaimana jika politik uang seperti itu dilakukan oleh orang atau pihak-pihak-pihak yang tidak termasuk dikatagorikan sebagai calon atau tim kampanye resmi yang didaftarkan kepada KPUD? Oleh karena Undang-Undang sangat membatasi pengertian kampanye, yakni nama-nama yang diresmikan oleh pasangan calon dan didaftarkan ke KPUD. Sementara dipastikan bahwa masa pendukung justeru lebih banyak yang tidak tercatat.
Bagi yang tidak termasuk dalam katagori calon dan/atau tim kampanye dikenakan Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada sesorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 dan paling banyak Rp. 10.000.000,00. Bukan saja kecil hukumannya, tetapi tidak berimplkasi apa-apa terhadap calon yang didukungnya.
3. Waktu Kampanye
Dalam pemilu atau pilkada selalu muncul istilah kampanye terselubung dan curi start kampanye. Dalam literatur hukum pemilu atau pilkada di Indonesia tidak secara jelas apa yang dimaksud dengan dua istilah tersebut. Sehingga KPU atau KPUD sejatinya tidak mengenalnya.
Dalam berbagai pertauran pemilu atau pilkada istilah kampanye selalu dibatasi oleh waktu. Seperti Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kampanye dilakukan selama 14 hari dan berakhir tiga hari sebelum hari pemungutan suara. Pasal ini jelas hanya menyebutkan bahwa kampanye itu 14 hari. Lalu, bagaimana dengan seluruh aktivitas calon atau pendukungnya yang pada hakikatnya adalah kegiatan kampanye yang dilakukan sebelum masa kampanye.
Setidaknya ada tiga fase kegiatan calon dan pendukungnya, yakni: masa pada saat deklarasi, masa setelah ditetapkan calon hingga menjelang kampanye; dan masa kampanye. Produk aturan Undang-Undang hingga pertauran kampanye KPU hanya pada masa kampanye, sedangkan masa sebelumnya tidak ada aturan.
Kenyataan ini tentu saja dilema bagi penyelenggaran, terutama pada hal-hal: (1) tidak ada aturan yang mengaturnya; (2) KPUD tidak mungkin melarang ekspresi dan partisipasi politik masyarakat; dan (3) KPUD sesungguhnya memiliki kepentingan untuk mensosialisasikan berbagai info tentang calon dan pada saat yang sama ada kepentinga calon dan pemilih untuk saling mengenal sejak dini, sehingga pilihan yang dijatuhkan pemilih terhadap calon memiliki pertimbangan yang memadai.
4. Ijazah Palsu
Problem ijazah merupakan problem yang sering ditemui dalam banyak pilakda di daerah. Banyak tokoh yang mencalonkan diri memiliki ijazah yang oleh KPUD diragukan atau mungkin KPUD tidak cukup pengetahuan untuk menyatakan status sah tidaknya ijazah seseorang.
C.    Masa Depan Pemilukada
Dari deskripsi mengenai kelebihan dan kelemahan Pemilukada diatas, penulis beranggapan bahwa Pemilukada secara langsung adalah salah satu sarana demokratisasi, sebagaimana yang disyaratkan oleh Joseph Schumpeter, demokrasi hanya dapat dicapai dan diwujudkan manakala terdapat pranata politik yang memungkinkan terwujudnya 3 (tiga) situasi politik yang ideal, yaitu political equality, local accountability, dan local response. Dalam konteks ini, pranata yang paling tepat dan mungkin adalah pilkada langsung oleh rakyat (pemilih).
Pilkada langsung memungkinkan bertumbuhnya secara subur kesetaraan politik dalam masyarakat. Baik antara rakyat dengan para wakilnya di dewan, maupun rakyat dengan para calon pemimpinnya di daerah. Pilkada langsung juga memungkinkan terciptanya akuntabilitas tatakelola kekuasaan dan kepemerintahan yang lebih tinggi di tingkat lokal. Terakhir, pilkada langsung akan mendorong para kepala daerah menjadi lebih tanggap terhadap pelbagai isu dalam masyarakat, sebab mandat yang diembannya diberikan langsung oleh rakyatnya.
Melalui semua pilihan kemungkinan itulah, bangunan demokrasi di tingkat lokal akan memperoleh penguatan secara signifikan. Para kepala daerah yang terpilih juga akan memiliki derajat legitimasi kekuasaan yang tinggi. Dan rakyat sudah barang pasti akan merasa sangat dihargai suaranya, dihargai pilihan nuraninya.
Mengenai kelemahan dalam pelaksanaannya seperti dikemukakan diatas tadi, tentu tidak boleh diabaikan. Karena membangun demokrasi memang tidak mudah, selalu butuh waktu untuk perbaikan-perbaikan. Sudah saatnya, eksperimentasi politik pada pelbagai area prinsipnya dihentikan, dan fokuslah pada aspek-aspek teknis saja dalam upaya “menyempurnakan” pelaksanaannya.
Aspek teknis yang dimaksudkan disini yaitu, bahwa pemilukada di Indonesia masih dilakukan secara manual, sehingga dirasa kurang efektif. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam pelaksanaan pemilu sering terjadi kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh human error, atau disebabkan karena sistem pendukung pelaksanaan voting yang tidak berjalan dengan baik. Dengan banyaknya permasalahan tersebut, maka muncullah gagasan untuk melaksanakan pemilihan umum dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada khususnya teknologi elektronik dan teknologi berbasis web. Hal ini juga didukung dengan semakin luasnya jaringan komunikasi dan biaya komunikasi yang semakin murah. Pada penelitian e-voting ini, solusi e-voting lebih difokuskan pada keamanan personal identification pada saat login dengan menggunakan finger print dan keamanan jaringan teknologi berbasis web pada saat pengiriman data hasil penghitungan suara dari tingkat TPS ke KPU pusat.
Electronic voting adalah suatu metode pemungutan suara dan penghitungan suara dalam suatu pemilihan dengan menggunakan perangkat elektronik. Tujuan dari electronic voting adalah menyelenggarakan pemungutan suara dengan biaya hemat dan penghitungan suara yang cepat dengan menggunakan sistem yang aman dan mudah untuk dilakukan audit. Dengan e-voting Perhitungan suara akan lebih cepat, bisa menghemat biaya pencetakan surat suara, pemungutan suara lebih sederhana, dan peralatan dapat digunakan berulang kali untuk Pemilu dan Pilkada.
Mahkamah Konstitusi juga menilai pasal 88 UU 32/2004 adalah konstitusional sepanjang penggunaan metode e-voting itu tidak melanggar asas luber jurdil, untuk menerapkan e-voting dibutuhkan perencanaan yang menyeluruh, terkait dana, sumber daya manusia, perangkat lunaknya, dan kesiapan teknologi itu sendiri.


BAB III
PENUTUP

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dengan demikian merupakan proses politik yang tidak saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis (melalui pemilu); tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi politik yang sesungguhnya. Keduanya merupakan reaksi atas model penyelenggaraan pemilu Rezim Orde Baru yang tidak demokratis dan kekuasaan yang sentralistik. Secara umum pelaksanaan pilkada dapat berlangsung dan berhasil memilih kepala daerah, tetapi masih banyak persoalan penting yang mesti dibenahi.
Secara singkat dapat dinyatakan, bahwa masalah pilkada dapat dilihat dari konstruksi atau struktur hukum yang melingkupi dan sebagai dasar pelaksanaan pilkada di Indonesia. Transisi politik demokrasi menempatkan pemilu sebagai salah satu jalan alternatif yang paling mungkin ketimbang cara-cara lainnya, termasuk yang dicoba di Indonesia. Sayangnya, di era transisi melalui pemilu itu sendiri di satu sisi memberikan harapan kehidupan politik yang lebih baik (demokratis); tetapi di sisi yang lain menghadapi tantangan-tantangan yang tidak ringan. Hal ini disebabkan praktik transisi politik pada dasarnya terdapat banyak eksperimen politik untuk mencari pola dan struktur politik yang ideal bagi kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini transisi sering sekali menimbulkan ketidakpastian akan masa depan politik. Bukan saja karena aturan main yang ada bekerja dalam perubahan yang secara terus-menerus terjadi, tetapi juga karena biasanya aturan atau struktur hukum yang ada dipertarungkan dengan sengit, baik dalam pembuatan maupun dalam implementasinya.
Berkaitan dengan implementasi pemilukada di berbagai daerah, terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan, yaitu:
Kelebihan dari adanya pemilukada antara lain; (1) model pilkada langsung ini sungguh-sungguh memberi penghargaan kepada suara rakyat. (2) Pemilukada dapat menggugurkan subyektivitas dan monopoli anggota DPRD. (3) Lewat pemilikada, rakyat akan secara langsung pula memperoleh pendidikan politik. (4) Pemilukada memberi kemungkinan pada lahirnya pemimpin daerah dari berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Sedangkan kelemahannya; terutama terkait dengan persoalan desain waktu, dis-harmoni dan kekosongan hukum.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan diatas, penulis berpendapat bahwa Pemilukada masih perlu dilaksanakan. Dengan adanya berbagai kendala-kendala yang dialami dalam pemilukada di berbagai daerah, maka penulis merekomendasikan agar pemilukada dilaksanakan dengan menggunakan e-voting. E-Voting merupakan teknologi tepat guna untuk mewujudkan pemilihan yang Langsung Umum Bebas Rahasia (Luber), Jujur Adil (Jurdil), Efektif dan Efisien. Untuk aspek legalitas, E-Voting membutuhkan payung hukum berupa Undang-Undang untuk Pilkada. Penerapan E-Voting merupakan momentum melek teknologi dan edukasi kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. E-voting untuk Pemilu 2014. http://bppt.go.id. diakses pada, minggu 30 Desember 2012.
Anonim. 2012. Pilkada Langsung. id.shvoong.com. diakses pada, Minggu 30 Desember 2012.
Guillermo O‘Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. (terj.), (Jakarta: LP3ES, 1993: 6); Lihat juga David Collier (Ed.), The New Authoritarianism in Latin America. (New Jersey: Princeton University Press, 1979).
John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik (terj.). (Yogyakarta: CCSS-Pustaka Pelajar, 2002: 25).
Mahfud MD, 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES: jakarta (hlm: 133-135)
Refleksi Evaluasi SeTahun SBY-JK: Golput, Pemenang Rill Pilkada, dalam Suara Karya Online, 20 Oktober 2005.
Samadi, W.P. dan Nicolaas Warouw, “A Decade of Reformasi: Unsteady Democratisation” dalam Journal PCD Publication. http://www.pcd.ugm.ac.id. diakses pada 29 Desember 2012.
Simamora, Janpantar.. Eksistensi Pemilukada dalam Mewujudkan Pemilukada yang Demokratis. Dalam Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 1, Februari 2011, Halaman 1-236
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan pertanggungjawaban Belanja Pilkada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang Sentralistik
Sutisna, Agus. 2010. Menimbang Ulang Pilkada Langsung. http://politik.kompasiana.com. Diakses pada Senin, 1 Januari 2013.

1 komentar:

  1. How to make money in casino gaming | WorkPaperMoney
    Learn how to make money in casino gaming. With the best odds of winning, you can หาเงินออนไลน์ earn money through the free play mode.

    BalasHapus